Sabtu, 28 Desember 2013

MALAM MINGGU DIAKHIR TAHUN



Malam …..
Indah memang dinikmati berdua
Suara seduhan tea
Terdengar nyaring tepat ditelinga
Taburan bintang lengkapi malam ini
                Malam ini penuh arti
                Jika kau berada tepat disini
                Namun itu hanya jika
                Nampak raut muka kekecewan
                Ya ini raut mukakku…
                Kecewa ku dibuat oleh tingkahmu
Oh malam.....
Teganya buatku suram
Kehadiranmu setahun ini
Rasa malasku menyapamu
Kata-kata doa slalu ku lontarkan
Untuk menghapus namamu
MALAM MINGGU

WAKTU YANG KUCARI



Bukan karnamu aku sendiri
Ya, itu memang bukan karnamu
Ini salahku
Karna begitu tak menemukan waktu
Kemana lagi harus mencarimu
Ku tak mengerti serumitkah ini
Haruskah ku memberi janji untukmu?
Untuk apa harus kulakukan
Dia tak pernah memberiku kesempatan
Bagaikan sosok hitam yang terkadang datang

Bukan karnamu aku sendiri 
Pertemuan itu akan terjadi 
Pada siapa haruskah kupercaya?
Ku selalu dipermainkan olehnya
Apa yang kudapat…….. entahlah
Suara-suara slalu berbisik
Padamu yang harus kutunggu
Yaaa, padamu
Waktu yang kutunggu
Karna kuasamu semua orang menunggu  

Selasa, 24 Desember 2013

HITUNGAN JAWA



     Baik-buruknya nama, menurut perhitungan Jawa (neptu), didasarkan pada susunan aksara Jawa (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga). Setiap aksara diasumsikan memiliki nilai berbeda. Ha, da, pa, ma, masing-masing dinilai 1. Na, ta, dha, ga, nilainya 2. Ca, sa, ja, ba = 3. Ra, wa, ya, tha = 4. Ka, la, nya, nga = 5.
     Angka-angka itu kemudian dipakai untuk menghitung nilai total dari nama seseorang yang dijumlahkan dari nilai setiap penggalan suku kata. Contoh, nilai keseluruhan nama Susanto adalah Su (sa=3) + san (sa=3) + to (ta=2) = 8
     Nilai total dari nama itu selanjutnya diproyeksikan pada lima unsur yang menunjukkan "cocok tidaknya nama", yang meliputi lima unsur, "Sri", "Lungguh", "Gedhong", "Loro", "Pati". Menghitungnya dimulai dari satu (Sri), dua (Lungguh), tiga (Gedhong), empat (Loro), dan lima (Pati). Setiap habis kelipatan lima, hitungan kembali dimulai dari angka satu (Sri) sampai lima (Pati), begitu seterusnya. Misal, nilai nama Susanto = 8, dihitung mulai dari satu (Sri), dua (Lungguh), tiga (Gedhong), empat (Loro), lima (Pati), enam (Sri), tujuh (Lungguh), delapan (Gedhong).
     Jadi, nama Susanto (dengan angka total 8), jatuh pada unsur "Gedhong". "Artinya, insya Allah, kelak si pemilik nama itu akan bergelimangan harta dalam hidupnya," jelas Iin SP.
Menurut tradisi Jawa, unsur "Sri", "Lungguh", dan "Gedhong" dianggap mewakili unsur kecocokan nama. Sebaliknya kalau jatuh pada unsur "Loro" dan "Pati", nama itu dianggap tidak cocok bagi yang bersangkutan.
      Kelima unsur itu masing-masing memiliki arti konotasi yang berbeda. "Sri" memiliki arti yang positif (bahagia, kemakmuran, keberuntungan, mulia, dan sukses segalanya). Juga "Lungguh" dan "Gedhong" mengandung arti yang positif, yakni baik dalam kedudukan (jabatan) dan ekonomi (harta), tapi biasanya masih ada kekurangan di sisi lain, seperti sakit, rumah tangga diselilingi cekcok atau kurang harmonis. Sebaliknya unsur "Loro" dan "Pati" punya konotasi negatif. Unsur "Loro" menggambarkan hidup tersendat-sendat, sakit-sakitan, kurang mujur, banyak sial, banyak menderita. Unsur "Pati" menyimpan makna umur yang pendek.

     Dalam perhitungan nama ala Jawa, huruf hidup (A, I, U, E, O) yang berdiri sendiri tidak ikut dihitung atau diabaikan (nilainya = nol). Misalnya, cara perhitungan nama Hariyanto berbeda dengan Ariyanto.

MACAPAT



KINANTHI

gampang dadi-a wong luhur
ora kudu sugih dhuwit
ora kudu darbe pangkat
watone netepi janji
tansah bisa pinrecaya
iku wong luhur sayekti
senajan ingaran ratu
yen karem ambalenjani
marang prasetya priyangga
aling-aling dhampar rukmi
dupeh wenang amasesa
iku wong asor sayekti
nanging beda najan iku
mung batur-rewang sayekti
yen pakartine prasaja
tansah nganggo ngati-ati
prayitna marang bebaya
mbudidaya puguh suci
iku kang ingaran luhur
pantes kinarya palupi
sajroning urip bebrayan
amrih tekan nggayuh aji
katrima dening sasama
lan kinasih dening Gusti

PANDAWA LIMA



TOKOH-TOKOH PANDAWA 5
Kelima orang Pandawa itu adalah :
A. Yudhistira/Puntadewa
B. Bima/Wrekudara
C. Arjuna
D. Nakula
E. Sadewa
      Pandawa dianggap musuh oleh para Kurawa (anak-anak Destarata). Dalam berbagai mata pelajaran Pandawa selalu lebih unggul daripada para Kurawa. Pada ilmu kesastraan dan ketatanegaraan, misalnya, Puntadewa selalu lebih unggul. Soal adu tenaga dan keterampilan memainkan gada, Bima tidak tertandingi. Sedangkan dalam keterampilan memainkan panah dan pedang, Arjuna paling jago. Nakula dan Sadewa pada waktu itu masih kecil, belum banyak berperan. Di antara Pandawa dan Kurawa, Bima adalah anak yang paling besar tubuhnya dan paling kuat tenaganya. Di hari tuanya, kelima Pandawa menyongsong saat kematiannya dengan sadar. Mereka mendaki Gunung Himalaya untuk menyongsong ajal, diikuti oleh seekor anjing berbulu putih. Yang pertama dijemput oleh Batara Yamadipati, dewa kematian adalah Dewi Drupadi (istri para Pandawa). Setelah itu Sadewa, kemudian Nakula,

       Arjuna, dan Bima. Puntadewa tidak menemui ajalnya. Sampai perjalanannya mencapai pintu surga, ia dijemput oleh Batara Endra. Namun sewaktu Batara Endra melarang seekor anjing putih yang hendak masuk, Puntadewa menolak ajakan Batara Endra masuk ke surga, katanya: “Jikalau sorga tidak menghargai kesetiaan, meskipun kesetiaan itu diperlihatkan oleh seekor anjing, sebaiknya hamba tidak usah masuk ke sorga yang demikian”.
Seketika itu juga anjing tersebut berubah ujud menjadi Batara Dharma, ayah Puntadewa yang sebenarnya. Dalam pewayangan, Semar dan anak-anaknya amat dominan dalam mengasuh para Pandawa. Banyak lakon-lakon pewayangan yang mengisahkan kemenangan para Pandawa, karena mereka mendengarkan nasihat dan petuah Ki Lurah Semar.